Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak
peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang
tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan
peradaban umat manusia.
Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak
peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai
tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah
hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang
pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar
kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya
selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki
Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan
itu dimulai semenjak Mataram Kuno.
Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di
Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan
Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada
agraris ( De Graaf, 1986).
Juru Demung Ki Gede Sebayu
Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan
tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain
menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan
yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang
singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955).
Namun sejarah tlatah Kabupaten Tegal tak dapat diepaskan dari
ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit,
karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput ( kelak bernama Pangeran Onje)
ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan
dengan keturunan dinasti Majapahit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar